Kalau kita
hubungkan puasa dengan menahan diri, akan sangat bagus kalau kita kembangkan
konsep menahan diri ini setiap tahunnya – di wilayah apa, dalam cara berpikir
apa, dan dalam konfigurasi nilai yang mana. Misalkan kita hubungkan dengan hak
dan kewajiban, orang yang berpuasa adalah orang yang tidak berkewajiban
melakukan sesuatu tetapi mau melakukannya. Atau bisa dimengerti juga sebagai
orang yang berhak atas sesuatu tapi rela untuk tidak mengambilnya. Kita berhak
makan tapi kita mau untuk tidak makan.
“Puasa dari
Shubuh sampai Maghrib merupakan puasa standardisasi, tapi hakikat puasa bisa
terjadi di mana-mana. Mestinya saya jadi menteri tahun ’83, tapi saya nggak
ambil. Mestinya saya jadi presiden tahun ’98, tapi saya juga nggak ambil. Bisa
ini bisa itu, tapi saya memilih untuk tidak melakukannya.”
Kalau
dipakai untuk pendidikan kedewasaan, tandanya anak kecil adalah dia lakukan apa
yang dia inginkan dan dia ambil apa yang dia suka. Sementara itu, orang dewasa
belum tentu mengambil apa-apa yang disukainya karena dia punya pertimbangan
lain : benar atau tidak, baik atau tidak, sehat atau tidak. Orang dewasa punya
kesadaran berpuasa.
Cak Nun
kemudian bertanya kepada semua yang hadir, “Aslinya Anda seneng nggak berpuasa
gini?”
“Sangat
manusiawi dan natural kalau manusia tidak suka untuk tidak makan dari pagi
sampai sore. Kalau Anda suka berpuasa dan kemudian melakukannya, apa hebatnya
Anda? Kalau Anda suka sesuatu dan kemudian memakannya, apa yang istimewa? Orang
yang sudah tahu bahwa pil itu pahit tapi tetap memakannya supaya sehat lebih
tinggi mana derajatnya dengan orang yang makan gethuk karena dia suka gethuk?
Kalau Anda senang berpuasa kemudian berpuasa, Tuhan nggak kagum sama Anda.”
“Kalau ada
artis cantik kemudian Anda nikahi, apa hebatnya? Tapi kalau orangnya tidak
begitu cantik, punya beban berat, kemudian dia tolong kehidupan dia dan
keluarganya, itu baru Anda hebat. Rasulullah pada suatu hari datang ke sebuah
desa Negro, yang pada waktu itu digunakan sebagai pasar budak oleh orang-orang
dari jazirah Arab dan Eropa.”
“Mereka
senang sekali didatangi Rasulullah. Mereka guyon, kemudian Muhammad memandang
salah satu perempuan di antara orang hitam itu dan beberapa hari kemudian
menikahinya, Perempuan itu merupakan perempuan paling jelek, umurnya 59,
badannya gemuk, hidungnya pesek, anaknya 9. Ini baru poligaminya bernilai
puasa, baru bernilai kemuliaan.”
“Orang yang
berpuasa karena dia senang berpuasa tidaklah mengherankan. Tapi kalau orang
tidak suka puasa, dia mangkel sama datangnya bulan Ramadhan, tapi dia berjuang
melawan dirinya sendiri sampai bisa benar-benar ikhlas, Allah
menjunjung-junjung dia karena dia melakukan yang tidak disukainya secara
ikhlas. Itulah puasa yang sesungguhnya.”
“Justru
karena engkau tidak menyukainya tapi engkau ikhlas melakukannya, maka nilaimu
tinggi. Sebab di atas kebenaran, kebaikan, dan keindahan, ada yang lebih tinggi
yaitu kemuliaan. Itulah mengapa shalat malam nilanya sangat tinggi, karena dia
sangat berat untuk ditunaikan.”
Pembelajaran
mengenai asmaul husna juga mestinya melihat struktur, tatanan, dan
level-levelnya karena di dalam Quran Allah menyebut asmaul husna bukan secara
sekaligus 99. Di setiap surah ada susunan-susunan. Ada yang memuat 14, ada yang
3, ada yang 2. Itu semua mengandung terminologi-terminologi.
Sami’un
bashir tidak bisa
dibalik menjadi bashirun sami’. Ilmu Kedokteran sudah mengenali bahwa
pendengaran jauh lebih dini dan lebih penting dibanding penglihatan. Allah
selalu menyebut diri-Nya Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bukan sebaliknya. Rahman
dulu baru rahim, selalu begitu dan tak boleh dibalik, sebab cinta
yang meluas (rahman) harus didahulukan dari cinta yang mendalam atau meninggi
(rahim).
- Sumber :
http://kenduricinta.com
No comments:
Post a Comment