Wednesday, July 17, 2013

Menahan Diri dan Kemuliaan

Kalau kita hubungkan puasa dengan menahan diri, akan sangat bagus kalau kita kembangkan konsep menahan diri ini setiap tahunnya – di wilayah apa, dalam cara berpikir apa, dan dalam konfigurasi nilai yang mana. Misalkan kita hubungkan dengan hak dan kewajiban, orang yang berpuasa adalah orang yang tidak berkewajiban melakukan sesuatu tetapi mau melakukannya. Atau bisa dimengerti juga sebagai orang yang berhak atas sesuatu tapi rela untuk tidak mengambilnya. Kita berhak makan tapi kita mau untuk tidak makan.
“Puasa dari Shubuh sampai Maghrib merupakan puasa standardisasi, tapi hakikat puasa bisa terjadi di mana-mana. Mestinya saya jadi menteri tahun ’83, tapi saya nggak ambil. Mestinya saya jadi presiden tahun ’98, tapi saya juga nggak ambil. Bisa ini bisa itu, tapi saya memilih untuk tidak melakukannya.”

Kalau dipakai untuk pendidikan kedewasaan, tandanya anak kecil adalah dia lakukan apa yang dia inginkan dan dia ambil apa yang dia suka. Sementara itu, orang dewasa belum tentu mengambil apa-apa yang disukainya karena dia punya pertimbangan lain : benar atau tidak, baik atau tidak, sehat atau tidak. Orang dewasa punya kesadaran berpuasa.
Cak Nun kemudian bertanya kepada semua yang hadir, “Aslinya Anda seneng nggak berpuasa gini?”
“Sangat manusiawi dan natural kalau manusia tidak suka untuk tidak makan dari pagi sampai sore. Kalau Anda suka berpuasa dan kemudian melakukannya, apa hebatnya Anda? Kalau Anda suka sesuatu dan kemudian memakannya, apa yang istimewa? Orang yang sudah tahu bahwa pil itu pahit tapi tetap memakannya supaya sehat lebih tinggi mana derajatnya dengan orang yang makan gethuk karena dia suka gethuk? Kalau Anda senang berpuasa kemudian berpuasa, Tuhan nggak kagum sama Anda.”
“Kalau ada artis cantik kemudian Anda nikahi, apa hebatnya? Tapi kalau orangnya tidak begitu cantik, punya beban berat, kemudian dia tolong kehidupan dia dan keluarganya, itu baru Anda hebat. Rasulullah pada suatu hari datang ke sebuah desa Negro, yang pada waktu itu digunakan sebagai pasar budak oleh orang-orang dari jazirah Arab dan Eropa.”
“Mereka senang sekali didatangi Rasulullah. Mereka guyon, kemudian Muhammad memandang salah satu perempuan di antara orang hitam itu dan beberapa hari kemudian menikahinya, Perempuan itu merupakan perempuan paling jelek, umurnya 59, badannya gemuk, hidungnya pesek, anaknya 9. Ini baru poligaminya bernilai puasa, baru bernilai kemuliaan.”
“Orang yang berpuasa karena dia senang berpuasa tidaklah mengherankan. Tapi kalau orang tidak suka puasa, dia mangkel sama datangnya bulan Ramadhan, tapi dia berjuang melawan dirinya sendiri sampai bisa benar-benar ikhlas, Allah menjunjung-junjung dia karena dia melakukan yang tidak disukainya secara ikhlas. Itulah puasa yang sesungguhnya.”
“Justru karena engkau tidak menyukainya tapi engkau ikhlas melakukannya, maka nilaimu tinggi. Sebab di atas kebenaran, kebaikan, dan keindahan, ada yang lebih tinggi yaitu kemuliaan. Itulah mengapa shalat malam nilanya sangat tinggi, karena dia sangat berat untuk ditunaikan.”
Pembelajaran mengenai asmaul husna juga mestinya melihat struktur, tatanan, dan level-levelnya karena di dalam Quran Allah menyebut asmaul husna bukan secara sekaligus 99. Di setiap surah ada susunan-susunan. Ada yang memuat 14, ada yang 3, ada yang 2. Itu semua mengandung terminologi-terminologi.
Sami’un bashir tidak bisa dibalik menjadi bashirun sami’. Ilmu Kedokteran sudah mengenali bahwa pendengaran jauh lebih dini dan lebih penting dibanding penglihatan. Allah selalu menyebut diri-Nya Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bukan sebaliknya. Rahman dulu baru rahim, selalu begitu dan tak boleh dibalik, sebab cinta yang meluas (rahman) harus didahulukan dari cinta yang mendalam atau meninggi (rahim).
- Sumber : http://kenduricinta.com

No comments:

Post a Comment