Oleh
Dahlan Iskan
Dahlan Iskan
Mukadimah
Istilah “dakwah
bil hal” yang sudah begitu popular ternyata merupakan istilah yang hanya
digunakan di Indonesia yang kemudian merembet ke Malaysia. Sebagaimana istilah “halal
bil halal”, istilah “dakwah bil hal” bukan istilah yang dikenal di
dunia Islam di Timur Tengah.
Bahkan
istilah “dakwah bil hal” ternyata baru mulai popular sejak tahun
1970-an. Berbagai sumber ulama dan intelektual Islam Indonesia membenarkan itu.
Namun tidak ada yang tahu siapa yang memulai menggunakannya. Prof. Dr. KH
Quraisy Shihab, ahli tafsir Al Qur’an yang semula dikira sebagai ulama pertama
yang menggunakan istilah “dakwah bil hal”, mengirim jawaban dari luar
negeri sebagai berikut: bukan saya yang pertama mempopulerkan istilah itu.
Rasanya MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mempopulerkannya.
Prof. Dr.
Amin Aziz yang zaman itu menjadi tokoh muda intelektual Islam yang mulai ikut
berkecimpung di MUI juga tidak ingat persis siapa orang pertama yang melahirkan
istilah “dakwah bil hal”. Yang jelas, Ketua Umum MUI saat itu dijabat
oleh Prof. Dr. KH Hasan Basri, semoga Allah SWT memberikan sorga terbaik untuk
Almarhum.
Tapi dari
hasil penelusuran saya, patut diduga istilah “dakwah bil hal” itu
terucapkan pertama kali oleh intelektual muda yang juga mulai aktif di MUI
zaman itu. Namanya Dr. Effendy Zarkasi. Setidaknya itulah yang diduga oleh
tokoh yang juga sangat aktif dan juga terlibat dalam kegiatan pemberdayaan umat
Adi Sasono.
Awal tahun
1970-an adalah masa di mana gejolak politik di Indonesia luar biasa mencekamnya.
Ini buntut dari peristiwa G-30-S di tahun 1965 yang menghadapkan golongan Islam
dengan golongan komunis. Pada masa itu banyak pemikiran yang muncul untuk
menyikapi akan dikemanakan masa komunis yang begitu besar yang pada umumnya
adalah rakyat miskin biasa.
Di lain
pihak, pada awal orde baru, terutama menjelang Pemilu model Orba yang ditandai
dengan keharusan dimenangkannya Golkar, gerak para pendakwah dipersempit.
Singa-singa podium mengalami hambatan untuk berorasi.
Maka salah
satu sikap moderat untuk keluar dari jepitan dua situasi itu, dicarilah istilah
yang enak terdengar untuk kalangan penguasa, sekaligus konkret hasilnya bagi
rakyat jelata. Dengan dakwah bil hal diharapkan bisa menjawab pertanyaan
mengapa begitu besar rakyat kita yang miskin yang akhirnya memilih partai
komunis daripada menjadi pemeluk Islam yang baik. Tentu kenyataan itu dianggap
sebagai bukti kegagalan misi dakwah Islam.
Sudah tentu,
tercapai juga tujuan lain yang lebih taktis. Dengan lebih banyak mewacanakan
dakwah bil hal, konotasi kata “dakwah” yang waktu itu terdengar identik dengan
suara anti penguasa Orde Baru bisa lebih lunak diterima oleh telinga penguasa.
Maka sudah
pada tempatnya bila MUI mencari jalan yang lebih taktis. Sebagai lembaga yang
“terjepit” di tengah-tengah antara ulama Islam dan penguasa, tidak ayal bila
MUI harus mencari “jalan lain” yang lebih bisa diterima semua pihak.
Seislam-islamnya MUI, waktu itu, adalah Islam yang bisa diterima penguasa.
Sebaliknya, sedekat-dekat dengan penguasa MUI masih merupakan representasi
ulama Islam.
Posisi MUI
di awal-awal Orde Baru memang memiliki tempat yang khusus di mata penguasa,
karena, antara lain, untuk menjadi Ketua MUI memang harus mendapat restu
penguasa. Bahkan tidak jarang MUI dituduh sebagai “alat penguasa”.
Dalam hal
ini bisa jadi istilah “dakwah bil hal” lahir sebagai penerapan satu
prinsip ushul al fiqh ini: Maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh,
sesuatu yang tidak bisa dipakai semua jangan ditinggalkan semua.
Dalam
suasana apa pun dan dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap jalan. Tidak bisa bil
lisan, bisa bil kalam. Tidak bisa bil kalam, nah ini dia: bil
hal.
Dalam
situasi di bawah penguasa Orde Baru yang tidak menginginkan Islam politik hidup
kembali, maka istilah “dakwah bil hal” dianggap tidak berkait dengan
politik dan tidak berhubungan dengan Pemilu. Maka MUI sangat sering membahas
topik-topik dakwah yang tidak sensitif di telinga penguasa.
Dalam
Muyawarah Nasional tahun 1985 dan Raker tahun 1987, nas Majelis Ulama Indonesia
telah mengambil keputusan tentang program dakwah bi al-hal. Salah satu
rumusannya disebutkan bahwa tujuan dakwah bi al-hal antara lain untuk
meningkatkan harkat dan martabat umat, terutama kaum dhu’afa atau kaum
berpenghasilan rendah
Rumusan itu
adalah jawaban dari topik yang menarik dan selalu dibicarakan waktu itu:
mengapa dakwah sering menemui kegagalan. Dan salah satu jawaban yang muncul
saat itu adalah ini: karena dakwah Islam lebih banyak hanya dilakukan secara
pidato-pidato, ceramah-ceramah, pengajian-pengajian. Dakwah bil lisan.
Kesimpulannya: perlu dicarikan terobosan baru agar dakwah tidak hanya
mengandalkan “bil lisan”. Lantas lahirlah istilah yang merupakan
antitesisnya: bil hal. Dakwah bil hal. Dakwah dengan perbuatan dan hasil
nyata.
Dakwah dalam
Konteks Kekinian
Dalam
literasi yang banyak berkembang di dunia Islam, istilah dakwah bil lisan
dan dakwah bil hal tidak banyak dikenal. Menurut Kyai muda lulusan Yaman
dari Pondok Pesantren Al Azziziyah Denanyar Jombang, KH Abdul Muiz Aziz, di
dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya, dakwah bil lisan dikenal dengan
ungkapan “bil maqal” dilaksanakan dalam bentuk harakah-harakah.
Kebanyakan dari gerakan ini sebenarnya tidak bisa disebut murni dakwah karena
tujuan akhirnya adalah untuk merebut kekuasaan.
Dalam
tradisi Arab pun, dakwah bil maqal atau dakwah bil lisan dianggap
kurang efektif dibanding dakwah dengan perbuatan yang diistilahkan bi lisan
al hal. Ungkapan yang popular di dunia Arab, lisaanul hal afshahu min
lisanil maqal. Berkata dengan perbuatan jauh lebih efektif dibanding
berkata dengan ucapan.
Di
Indonesia, gerakan dakwah bil hal bukanlah hal baru. Ketika mendirikan
Muhammadiyah pada tahun 1912, motivasi yang menjadi landasan KH Ahmad Dahlan
adalah mengaplikasikan perintah surat Al Maa’un untuk memberdayakan fakir
miskin, yatim piatu, dan kaum dhuafa pada umumnya. Salah satu wujudnya,
Muhammadiyah ketika itu mendirikan Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
Lembaga ini kemudian berkembang seiring tuntutan zaman, dengan memperluas
cakupan kegiatan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.
Ketika KH
Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama mendirikan Nadhlatul Ulama pada 1926, empat
sendi pokok yang menjadi pilar jam’iyah adalah (1) pendidikan, keilmuan,
sosial-budaya, (2) ekonomi kerakyatan, dan (3) kebangsaan.Untuk merealisasikan
pilar-pilar tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, dibentuklah lembaga
dan lajnah, di antaranya Lembaga Pendidikan Ma’arif, Lembaga Sosial Mabarrot,
dan Lembaga Pengembangan Pertanian.
Kepedulian
serupa juga ada di organisasi Islam lainnya seperti Al Irsyad, Persis,
Nahdlatul Wathan di NTB, dan sebagainya. Buku Fiqhud Da’wah karya tokoh
besar Dr Moh Natsir (Almarhum) juga menguraikan soal ini (Hamdan Daulay, 2011).
Komunitas seperti Qaryah Thayyibah di Salatiga, Tangan Di Atas di
Jakarta, dan Sedekah Rombongan di Yogyakarta, hakikatnya juga merupakan
implementasi dakwah bil hal.
Di dunia
Islam kontemporer, salah satu contoh dakwah bil hal yang dianggap paling
berhasil berkembang di Turki. Di sana gerakan sejenis ini disebut Hizmet yang
artinya adalah pelayanan. Tokoh sentralnya adalah ulama tarekat yang meneruskan
gerakan tarekat Sayid Nursi bernama Fethullah Gulen. Karena itu Hizmet di Turki
juga disebut Gulen Movement.
Gerakan ini
menggaungkan Islam damai tidak saja di Turki, tetapi juga di dunia
internasional. Gerakan ini telah mendirikan lebih dari 1.000 sekolah di lebih
dari 100 negara di dunia; enam buah rumah sakit umum; beberapa media cetak dan
elektronik; sebuah universitas; organisasi bantuan sosial internasional;
organisasi dialog antar agama internasional; dan gerakan ini sudah memiliki
cabang di berbagai negara di dunia, empat cabang di antaranya di Amerika.
Gerakan ini
mendapat dukungan tidak hanya dari kalangan elite, melainkan dari umat di
masyarakat bawah. Layanan sosial Gerakan Gulen menjangkau masyarakat kelas
bawah secara luas, tanpa memandang latar belakang agama dan ras,
merepresentasikan gagasan dan cita-cita Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Yang
menggembirakan adalah tidak terjadi dikotomi antara dakwah bil lisan dan
dakwah bil hal. Tidak ada yang menentang kehadiran gerakan dakwah bil
hal, karena dakwah bil hal tidak menafikan pentingnya dakwah bil
lisan. Boleh dikata keduanya saling melengkapi.
Semua
intelektual mengakui bahwa untuk zaman ini dakwah bil lisan saja tidak
cukup. Tidak memadai. Dalam kata-kata Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor
Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam penjelasannya
melalui SMS kepada saya: dakwah bil hal menunjukkan bahwa Islam adalah
agama amal, agama kerja, bukan sekadar agama kontemplasi dan pertapa.
Dari
kalangan pondok pesantren juga sama. “Untuk zaman sekarang dakwah dengan sunnah
fi’liyah lebih baik dari sunnah qauliyah,” tulis KH Abdul Muiz Aziz
dari Denanyar.
Dakwah
Tekstual dan Kontekstual
Ketika
tantangan untuk meningkatkan mutu pendidikan meningkat lebih tinggi lagi,
muncul gerakan baru dari individu-individu Muslim non lembaga keagamaan. Mereka
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan tanpa mengikatkan diri pada lembaga
keagamaan yang sudah ada. Mereka lebih mengutamakan mutu daripada formalitas
dan fanatisme keorganisasian. Muncullah sekolah-sekolah bermutu internasional
dari individu-individu muslim. Tanpa membawa bendera organisasi agama, yang
mereka anggap akan menambah birokrasi yang bisa menghambat usaha menjaga mutu
yang harus selalu dinamis.
Mengapa dakwah
bil hal pada masa kini lebih banyak bergerak di bidang pendidikan tentu
sesuai dengan tantangan yang dominan di kalangan ummat Islam saat itu:
kebodohan, kejumudan dan ketertinggalan dalam dunia pemikiran. Di samping,
sudah tentu, pendidikan sendiri adalah aktivitas yang tidak dipisahkan dari
doktrin keagamaan dalam Islam.
Berkembangannya
dakwah bil hal di bidang pendidikan sekaligus juga menandai terjadinya
transformasi peradaban. Dari peradaban lisan ke peradaban tulis. Perkembangan
peradaban itu membawa konsekwensi pada kehidupan umat. Peradaban lisan di
Indonesia bisa diidentikkan dengan peradaban pertanian. Peradaban tulis identik
dengan zaman industri.
Belakangan
muncul peradaban yang lebih baru lagi: video dan audio. Yang melambangkan
peradaban informasi. Perubahan peradaban itu tidak hanya mengakibatkan
berubahnya perilaku sosial umat, tapi lebih-lebih juga perilaku ekonomi. Kemajuan
perekonomian pertanian terbukti dikalahkan oleh ekonomi industri. Dan ekonomi
industri dikalahkan oleh ekonomi informasi. Teknologi informasi berkembang luar
biasa pesat, dan menjadi tulang punggung perekonomian modern.
Jika umat
masih terus tertinggal di peradaban lisan dengan ciri ekonomi pertanian, maka
ia akan menjadi umat yang paling tertinggal. Kemajuan-kemajuan ekonomi yang
digerakkan oleh peradaban industri dan informasi telah membawa perubahan besar,
namun porsi manfaat yang lebih besar diambil oleh masyarakat industri dan
masyarakat informasi.
Dari
pengalaman selama ini, saya membagi dua tingkatan dakwah:
1. Dakwah
Tekstual. Dakwah yang diberikan begitu saja oleh pendakwah. Tanpa tahu
apakah materi itu yang sebenarnya dibutuhkan oleh sasaran dakwahnya. Tanpa tahu
bahwa sasaran dakwahnya sebenarnya sudah tahu dan sudah berkali-kali
mendengarkan hal yang sama. Dakwah yang tidak menyentuh realitas yang tengah
dihadapi sasaran dakwah;
2. Dakwah
Kontekstual. Dakwah untuk menjawab kebutuhan sasaran dakwah. Kebutuhan
untuk keluar dari kebodohan melalui pendidikan. Kebutuhan keluar dari
kemiskinan dengan ekonomi. Dan seterusnya. Dakwah bil hal ada di
kategori ini.
Untuk lebih
memberikan relevansi, dengan tuntutan zaman, Dakwah Kontekstual harus diperluas
maknanya. Bukan hanya yang bisa menjawab kebutuhan saat ini, tapi sudah harus
bisa menjawab masa depan. Masa depan tentu erat kaitannya dengan desain. Desain
seperti apa yang diinginkan untuk diwujudkan dalam masyarakat Islam Indonesia
masa depan.
Desain itu
haruslah desain yang bisa mewujudkan cita-cita semua orang. Cita-cita yang
sudah sejak kecil diperdengarkan namun tidak pernah dijelaskan dan tidak pernah
ada penjelasan bagaimana road map untuk mencapainya. Yang pertama dalam konteks
personal, adalah doa yang kita kumandangkan setiap hari, yang tertera di surat
Al Baqarah ayah 15: Rabbana aatina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati
hasanah wa qina ‘adzabannar. Ya Tuhan kami, karuniakanlah untuk kami
kebaikan hidup di dunia dan akhirat, dan selamatkanlah kami dari api neraka.
Dalam
bermasyarakat dan berbangsa, cita-cita itu tertera di surat Saba’ ayat 15: baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang makmur yang penuh dengan
pengampunan Tuhan. Indonesia yang adil makmur dengan roh ketuhanan.
Itulah
cita-cita personal kita sebagai seorang manusia, dan cita-cita komunal kita
sebagai bangsa.
Desain dan
cita-cita sudah ditetapkan, tapi road map untuk mewujudkan desain itu
yang belum pernah dirumuskan. Karena itu para pendakwah juga belum bisa secara
massif mendakwahkan desain masa depan itu.
Korporatisasi
Usaha Individu
Kita punya
problem mendasar untuk mayoritas umat Islam, terutama di pedesaan. Mungkin
sangat sulit merumuskan desain masa depan tanpa mengubah struktur yang ada.
Terutama struktur perekonomian mereka. Penguasaan aset perekonomian yang kecil
dan bersifat individual akan menjadi faktor yang amat sulit untuk menciptakan
desain besar, baik dalam konteks cita-cita personal maupun komunal.
Kepemilikan
sawah oleh individu muslim yang kecil-kecil, pada akhirnya hanya akan jatuh ke
para penyewa besar. Kepemilikan ternak yang hanya satu-dua ekor di
masing-masing individu muslim, juga tidak akan bisa memberi dampak besar bagi
peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan secara umum.
Kita membutuhkan
sebuah desain gerakan dakwah bil hal yang masiv untuk menjawab
permasalahan itu. Sebuah desain yang tidak hanya berorientasi kekinian tapi
juga menjangkau masa depan. Saya mengistilahkan desain itu: Korporastisasi
Usaha Individu Umat.
Tujuan korporatisasi
usaha individu umat sejalan dengan tujuan dakwah, sebagaimana rumusan dakwah
dari Amrullah Ahmad (1985): eksistensi dakwah mengubah realitas sosial yang ada
ke realitas sosial yang baru.
Ke depan
umat harus yakin bahwa “usaha bersama” lebih baik daripada “usaha sendiri” yang
kecil-kecil. Korporatisasi -tidak harus dalam pengertian membuat perusahaan,
apalagi konglomerasi- akan mengubah desain ekonomi umat masa depan. Saya
terkesan dengan rumusan dakwah dari Andi Abdul Muis (2001): dakwah jangan hanya
terfokus pada masalah agama, tapi harus mampu menjawab realitas keadaan di
pedesaan.
Realitasnya,
umat di pedasaan terbelit pada kepemilikan aset produksi yang kecil, yang tidak
akan bisa digerakkan sebagai kekuatan ekonomi. Korporatisasi Usaha Individual
bisa menjadi jalan keluarnya. Hanya saja dalam korporatisasi ini diperlukan
pihak ketiga yang akan menjadi penjamin fasilitas pendanaan (avalis).
Adanya
avalis menjawab persoalan yang selama ini menjadi kendala bagi pendanaan
usaha kecil umat. Sebab fasilitas pendanaan perbankan umum maupun perbankan
syariah sangat besar untuk mendukung misi korporasitasi usaha individual umat
ini. Yang belum cukup adalah siapa lembaga atau pihak yang menjadi penjaminnya.
Avalis bisa menjadi jembatan bagi individu pengusaha kecil untuk
menjangkau pendanaan perbankan.
Maka sudah
waktunya konsep zakat juga lebih akomodatif terhadap keperluan riil masa depan
itu. Peranan zakat orang kaya yang 2,5% dari aset mungkin terlalu kecil
dampaknya bagi pekerjaan sangat besar mengangkat perekonomian umat yang
mayoritas miskin itu. Tapi peranan orang kaya (aghniya’) atau pemilik
modal akan menjadi lebih berarti jika diposisikan dalam konteks membangun
korporatisasi usaha individu umat itu.
Avalis bisa
dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, pemilik modal berada di luar, hanya
bertindak sebagai penjamin atas jalannya usaha individu. Kedua, pemilik modal
masuk ke dalam menjadi bagian dari korporasi usaha individual itu.
Harus ada
tempat bagi peran avalis dalam praktik ekonomi syariah. Sebab konteks
hukum fikihnya berbeda dengan sedekah atau infaq. Penerima sedekah dan infaq
tidak memiliki ikatan apa pun dengan pemberi sedekah. Apalagi ikatan formal.
Penerima sedekah dan infaq bisa menggunakan dana untuk apa pun, termasuk untuk
hal yang hanya bersifat konsumtif.
Sementara avalis
dan pihak yang dijamin terikat dalam sebuah akad, baik moral maupun formal.
Avalis memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan usaha pihak
yang dijamin. Sebab tujuan dari proses ini bukan sebatas memberi jaminan, tapi
bagaimana agar yang dijamin bisa berkembang dan “berubah dari realitas sosial
yang ada ke realitas sosial yang baru”.
Sebagai
contoh, 100 orang miskin tidak mungkin bisa membeli sapi untuk diternakkan.
Apalagi dalam jumlah yang memenuhi skala keekonomian. Mereka juga tidak mungkin
mendapat fasilitas pinjaman dari bank. Dengan niat dan tekad dakwah bil hal,
seorang aghniya bisa menjadi avalis bagi mereka, sehingga perbankan atau
lembaga keuangan bisa mengucurkan dana untuk pembelian sapi bagi kelompok
tersebut, dalam jumlah yang sesuai dengan skala keekonomian. Sapi-sapi itu
ditempatkan dalam sebuah kandang komunal dengan prinsip-prinsip korporasi dalam
pengelolaannya.
Tentu saja
tidak bisa hanya berhenti pada pembelian sapi. Agar usaha berkembang sesuai
tujuan yang dicanangkan, maka dakwah bil hal harus diperluas dalam bentuk
pendampingan, pelatihan, pembinaan, sehingga benar-benar menjadi sebuah gerakan
perubahan.
Bentuk
lainnya adalah optimalisasi lahan-lahan kecil dan terbatas milik petani. Misalnya
dengan membentuk kelompok tani yang menanam buah-buahan tropik. Pasar buah
tropik di dalam negeri sangat besar, dan memiliki potensi untuk diekspor ke
manca negara. Pengelolaannya bertumpu pada asas korporasi, sehingga lebih
tertata, terukur, dan bisa dipertanggung jawabkan.
Indonesia
yang menurut lembaga-lembaga internasional akan menjadi negara terbesar ke 7 di
dunia di tahun 2030, tentu akan menjadi negara yang sangat maju dan modern. Di
sini memerlukan modernisasi juga di bidang pertanian, peternakan dan
sektor-sektor pedesaan lainnya. Kalau tidak maka di tengah-tengah kemajuan dan
kemodernan Indonesia saat itu nanti akan terdapat mayoritas masyarakat
Indonesia di pedesaan yang tetap tertinggal.
Korporatisasi
usaha individual di mayoritas penduduk pedesaan kita adalah jalan untuk menuju
Indonesia yang maju dan modern secara seimbang. Tanpa korporatiasi usaha
individual di pedasaan maka jalan untuk menuju masyarakat maju dan modern itu
akan terhambat secara mendasar di pedesaan.
Korporatisasi
usaha individu sebagai implementasi dakwah bil hal bisa diterapkan di bidang
usaha apa saja, sesuai dengan potensi yang ada di sebuah desa. Inilah ladang
baru bagi para aghniya, yang lebih menjamin amal mereka memberi manfaat dan
dampak yang besar, bukan hanya di masa kini tapi juga masa depan.
Yang bisa
bertindak sebagai avalis tidak hanya sebatas individu, tapi bisa juga
korporasi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah korporasi yang didesain tidak
semata mengejar keuntungan, tetapi juga mengembangkan berbagai upaya untuk
mendukung percepatan terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Melalui program-program khusus yang relevan, BUMN akan menjadi perintis pengembangan korporatisasi usaha individu ini. Rintisan itu diharapkan akan menjadi stimulus bagi berbagai pihak, baik individu maupun lembaga dan korporasi, untuk mengembangkan hal yang sama, sehingga menjadi sebuah gerakan dakwah bil hal dalam skala yang luas.
Melalui program-program khusus yang relevan, BUMN akan menjadi perintis pengembangan korporatisasi usaha individu ini. Rintisan itu diharapkan akan menjadi stimulus bagi berbagai pihak, baik individu maupun lembaga dan korporasi, untuk mengembangkan hal yang sama, sehingga menjadi sebuah gerakan dakwah bil hal dalam skala yang luas.
Harus
diingat, korporasi memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam konteks
ushul al fiqh, kepedulian itu merupakan penjabaran kaidah dar’ul mafasidi
muqaddamun ‘ala jalbil mashalih: mencegah kerusakan harus didahulukan
dibanding memperoleh kemanfaatan. Jika sebuah korporasi hidup di tengah
lingkungan yang miskin, terbelakang, dan tetinggal, maka kelangsungan bisnisnya
akan menghadapi banyak gangguan dan hambatan. Oleh sebab itu, perusahaan harus
menunjukkan kepedulian untuk mencegah kerusakan pada masyarakat dan lingkungan
di sekitarnya, sehingga bisa memperoleh manfaat dari sustainabilitas bisnis
yang terjaga.
Itulah jenis
dakwah bil hal yang berdimensi masa depan.
Jangan hanya
memberi ikan.
Berilah
kail.
Jangan hanya
memberi kail.
Berilah juga
kolam.
Jangan hanya
memberi kail dan kolam
Ajaklah ke
kolam untuk bersama memancing ikan
Korporatisasi
usaha individu akan membuat seseorang bisa membuat kolam, membuat kail,
memancing bersama dan akhirnya mendapat ikannya.***
* Orasi
Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Ilmu Komunikasi dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang, 8 Juli 2013.
Casinos With Live Dealer Casinos - DRMCD
ReplyDeleteCasinos With Live Dealer Casinos: Full list of titanium wire the most popular Live Casino Slots. 평택 출장안마 If you 군산 출장마사지 have a huge 김제 출장샵 collection of live dealer casinos online, it's 용인 출장안마 safe to