Pada awal
tulisan ini kami telah menjelaskan mengenai keutamaan laa ilaha illallah,
di mana kalimat ini adalah sebaik-baik dzikir dan akan mendapatkan buah yang
akan diperoleh di dunia dan di akhirat. Namun, perlu diketahui bahwasanya
kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima dengan hanya diucapkan
semata. Banyak orang yang salah dan keliru dalam memahami hadits-hadits tentang
keutamaan laa ilaha illallah. Mereka menganggap bahwa cukup
mengucapkannya di akhir kehidupan (misalnya), maka seseorang akan masuk surga
dan terbebas dari siksa neraka. Hal ini tidaklah demikian.
Semua muslim
pasti telah memahami bahwa segala macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu
saja kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah
ini tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu
juga dengan puasa, haji dan ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan
diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga dengan
kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima
kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.
Oleh karena
itu, para ulama terdahulu (baca : ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita
mengenai pentingnya memperhatikan syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di
antara perkataan mereka berikut ini.
Al Hasan Al
Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan,”Barangsiapa
mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah
mengatakan, ”Barangsiapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga
kewajibannya, maka dia akan masuk surga.”
Wahab bin
Munabbih telah ditanyakan,”Bukankah kunci surga adalah laa ilaha illallah?”
Beliau rahimahullah menjawab,”Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti
punya gerigi. Jika kamu memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu
tersebut akan terbuka. Jika tidak demikian, pintu tersebut tidak akan terbuka.”
Beliau rahimahullah mengisyaratkan bahwa gerigi tersebut adalah
syarat-syarat kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Fiqhul Ad’iyyah wal
Adzkar I/179-180)
Mengenal Syarat Laa Ilaha Illallah
Dari hasil
penelusuran dan penelitian terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama
akhirnya menyimpulkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima
kecuali dengan memenuhi tujuh syarat berikut :
[1]
Mengilmui maknanya yang meniadakan kejahilan (bodoh)
[2]
Yakin yang meniadakan keragu-raguan
[3]
Menerima yang meniadakan sikap menentang
[4]
Patuh yang meniadakan sikap meninggalkan
[5]
Jujur yang meniadakan dusta
[6]
Ikhlas yang meniadakan syirik dan riya’
[7]
Cinta yang meniadakan benci
Penjelasan ketujuh
syarat di atas adalah sebagai berikut.
Syarat pertama adalah mengilmui makna laa ilaha illallah
Maksudnya
adalah menafikan peribadahan (penghambaan) kepada selain Allah dan menetapkan
bahwa Allah satu-satunya yang patut diibadahi dengan benar serta menghilangkan
sifat kejahilan (bodoh) terhadap makna ini.
Allah Ta’ala
berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain
Allah.” (QS. Muhammad [47] : 19)
Begitu juga
Allah Ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ
شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi
(orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui dengan benar
(laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf : 86)
قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39] : 9)
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS.
Fathir [35] : 28)
Dalam kitab
shohih dari ‘Utsman, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa
mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no.145)
Syarat kedua adalah meyakini kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya
adalah seseorang harus meyakini kalimat ini seyakin-yakinnya tanpa boleh ada
keraguan sama sekali. Yakin adalah ilmu yang sempurna.
Allah Ta’ala
memberikan syarat benarnya keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya,
dengan sifat tidak ada keragu-raguan. Sebagaimana dapat dilihat pada firman
Allah,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49] : 15)
Apabila
seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-orang
munafik –wal ‘iyadzu billah [semoga Allah melindungi kita dari sifat
semacam ini]. Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik
tersebut,
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya
yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka
selalu bimbang dalam keraguannya.”(QS. At Taubah : 45)
Dalam beberapa
hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah
akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ
بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah
utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal
dunia) dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali
Allah akan memasukkannya ke surga” (HR. Muslim no. 147)
Dari Abu
Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ
بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ
“Aku
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah
utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak
ragu-ragu, Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR.
Muslim no. 148)
Syarat ketiga adalah menerima kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya
adalah seseorang menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisan, tanpa
menolaknya.
Allah telah
mengisahkan kebinasaan orang-orang sebelum kita dikarenakan menolak kalimat
ini. Lihatlah pada firman Allah Ta’ala,
وَكَذَلِكَ
مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ
مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ
مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ
آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24)
فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak
mereka".(Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga)
sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk
daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab:
"Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk
menyampaikannya." Maka Kami
binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan itu.” (QS. Az Zukhruf [43] : 23-25)
Dalam kitab
shohih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda,
« مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ
بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ،
فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ
الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ
بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا
طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ
كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى
اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ
رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ » .
“Perumpamaan
petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang
turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan
menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput
(tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia
(melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan
ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya
yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak
bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama
Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu
dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalah
orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk
Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2093. Lihat
juga Syarh An Nawawi, 7/483 dan Fathul Bari , 1/130)
Syarat keempat adalah inqiyad (patuh) kepada syari’at Allah
Maksudnya
adalah meniadakan sikap meninggalkan yaitu seorang yang mengucapkan laa
ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at Allah serta tunduk dan
berserah diri kepada-Nya. Karena dengan inilah, seseorang akan berpegang teguh
dengan kalimat laa ilaha illallah.
Oleh karena
itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa
yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.”
(QS. Luqman [31] : 22). Yang dimaksudkan dengan ‘telah berpegang kepada
buhul tali yang kokoh’ adalah telah berpegang dengan laa ilaha illallah.
Dalam ayat ini,
Allah mempersyaratkan untuk berserah diri (patuh) pada syari’at Allah dan inilah
yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid) yang berbuat ihsan
(kebaikan). Maka barangsiapa tidak berserah diri kepada Allah maka dia bukanlah
orang yang berbuat ihsan sehingga dia bukanlah orang yang berpegang
teguh dengan buhul tali yang kuat yaitu kalimat laa ilaha illallah.
Inilah makna firman Allah pada ayat selanjutnya,
وَمَنْ
كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا
عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا
ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24)
“Dan
barangsiapa kafir (tidak patuh) maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu.
Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa
yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.
Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka
(masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman [31] : 23-24).
(Jadi perbedaan qobul
(menerima, syarat ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat keempat) adalah
sebagai berikut. Qobul itu terkait dengan hati dan lisan. Sedangkan
inqiyad terkait dengan ketundukkan anggota badan,ed).
Syarat kelima adalah jujur dalam mengucapkannya
Maksudnya
adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ikhlas laa ilaha illallah
harus benar-benar jujur (tidak ada dusta) dalam hatinya dan juga diikuti dengan
pembenaran dalam lisannya.
Oleh karena
itu, Allah mencela orang-orang munafik -karena kedustaan mereka- pada
firman-Nya,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ
بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ
إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ
اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)
“Di antara
manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian
," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu
dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit ,
lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih,
disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah [2] : 8-10).
Begitu juga
pada firman-Nya,
إِذَا
جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ
لَكَاذِبُونَ (1)
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS.
Al Munafiqun [63] : 1)
Untuk
mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan mengucapkan
kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan pembenaran
(kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan
kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.
Lihatlah hadits
dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ
أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah
seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya,
kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari no.
128)
Syarat keenam adalah ikhlas dalam beramal
Maksudnya
adalah seseorang harus membersihkan amal -dengan benarnya niat- dari segala
macam kotoran syirik.
Allah Ta’ala
berfirman,
أَلَا
لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan (baca: ibadah) yang ikhlas (bersih dari
syirik).” (QS. Az Zumar [39] : 3)
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas
(memurnikan) keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah [98] : 5)
فَاعْبُدِ
اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka
sembahlah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta'atan kepada-Nya.”
(QS. Az Zumar [39] : 2)
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ
النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang
berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang yang
mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.”
(HR. Bukhari no. 99)
Syarat ketujuh adalah mencintai kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya
adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ini mencintai (tidak benci pada)
Allah, Rasul dan agama Islam serta mencintai pula kaum muslimin yang menegakkan
kalimat ini dan menahan diri dari larangan-Nya. Dia juga membenci orang yang
menyelisihi kalimat laa ilaha illallah, dengan melakukan kesyirikan dan
kekufuran yang merupakan pembatal kalimat ini.
Yang
menunjukkan adanya syarat ini pada keimanan seorang muslim adalah firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di
antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2] :
165)
Dalam ayat ini,
Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini
dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta
ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka
sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah
adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan
juga membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai
bentuk cinta pada Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta
membenci musuhnya, juga mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.
(Pembahasan
syarat laa ilaha illallah ini diringkas dari dua kitab: (1) Ma’arijul
Qobul, I/ 327-332 dan (2) Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/180-184)
Inilah
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa mendapatkan keutamaan laa
ilaha illallah. Jadi, untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan laa ilaha
illallah bukanlah hanyalah di lisan saja, namun hendaknya seseorang
memenuhi syarat-syarat ini dengan amalan/ praktek (tanpa mesti dihafal). Semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mampu meyakini makna kalimat
tauhid, mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya dalam perkataan maupun
perbuatan, dan semoga kita mati dalam keadaan mu’min.
http://rumaysho.com
No comments:
Post a Comment