Thursday, January 30, 2014

Surat Kepada Kanjeng Nabi

 Oleh : Cak Nun
Ah, Muhammad, Muhammad, Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apapun.
Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tidak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada ALLAH .
Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang biasa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana dan kasidah-kasidah. Dalam sehari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.
Kami tentu akan hadir ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan Allah–karena Allah serdiri berserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu.
Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.

Seperti juga ketika kami sembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan,
atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.
Sesungguhnya kami belum mencukupi mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad.
Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu.
Kami masih takut dan terus-menerus tergantung kekuatan-kekuatan kecil di sekitar kami.
Kami kecut kepada atasan.
Kami menunduk kepada benda-benda.
Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.
Setiap tahun kami memperingati kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan hal itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali.
Tetapi lihatlah: kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan.
Tidak terlihat output personal maupun sosial dari proses perenungan tentang kekonsistenan.
Acara peningkatan Maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.
Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas pencintaan kami kepadamu tak kunjung meningkat.
Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu pengetahun dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.
Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud.
Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam.
Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman.
Kami semakin berkembang, namun kami tidak semakin berihsan.
Sel-sel memuai, dedaunan memuai, pohon pohon memuai, namun kesadaran kami tidak. Keinsafan kami juga tidak. Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak.
Kami masih primitif dalam hal akhlak–substansi utama ajaranmu. Padahal kami tidak usah belajar tentang akhlak, karena akhlak sudah menjadi naluri manusia; berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tidak usah belajar namun akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan.
Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa belakunya sangat sementara.
Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurigai, menindas dan menghisap hanya untuk beberapa lembar uang.
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, ya Muhammad.
Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding kepemalasan kami.
Padahal engkau negarawan agung dibanding ketikusan politik kami.
Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami.
Padahal engkau adalah seniman agung dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.
Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami.
Padahal engkau adalah strategi dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem abu jahal kontemporer.
Padahal engkau adalah mujahid yang tak kenal putus asa dibanding deretan kekalahan kami.
Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibandingkan keprajuritan dan keserdaduan kepribadian kami.
Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan.
Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan.
Padahal engkau adalah penyelamat nilai kemanusiaan.
Padahal engkau adalah organisator dan manager yang penuh keunggulan
dibanding ketidaktertataan keumatan kami.
Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia, di hadapan kami.
Padahal engkau liberator budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tidak pernah merasa, menyadari dan tak pernah mengakui bahwa kami adalah budak-budak.
Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya.
Di negeri ini kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi islam instensif, yayasan-yayasan, mubaligh-mubaligh, budayawan, dan seniman, cendikiawan dan apa saja.
Yang tidak kami punyai hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.

Dikutip dari buku: Surat Kepada Kanjeng Nabi, terbitan Mizan, 1996

No comments:

Post a Comment