Ø Pengertian
Buku atau karangan yag
berisi riwayat hidup seseorang diistilahkan biografi. Kata biografi berasal
dari kata bio yag berarti hidup dan graf yang berarti huruf atau tulisan. Namun
jika riwayat hidup sendiri ditulis oleh penulis sendiri diistilahkan autobiografi/otobiografi.
Pengertian lain Biografi merupakan
buku acuan atau catatan yang menguraikan dan membahas tentang riwayat hidup
seorang tokoh dan ditulis oleh orang lain. Biografi dapat berupa biografi
lengkap (buku) atau biografi singkat yang biasanya penulisannya terletak di
bagian akhir sebuah buku yang ditulis oleh tokoh tersebut.
Ø Manfaat
Membaca biografi seorang tokoh
besar, bahkan mungkin menjadi idola, memiliki banyak manfaat diantaranya lebih
mengenal tokoh tersebut beserta latar belakang kehidupannya, menambah wawasan
dan pengetahuan lewat karya-karya yang ada sangkut pautnya dengan tokoh tersebut,
dan meneladani nilai-nilai terbaik yang pernah diukir dalam kehidupannya.
Ø Hal-hal yang harus diperhatikan dan diungkapkan
Ø Hal-hal yang harus diperhatikan dan diungkapkan
Untuk mengenal
sang tokoh dan mengungkapkan hal-hal yang menarik pada diri tokoh tersebut,
sebaiknya anda memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.Bacalah dengan sungguh-sungguh biografi tersebut.
b.Catatlah hal-hal positif dan negatif (jika ada) dari tokoh tersebut.
c.Catatlah karya-karya yang dihasilkan (jika ada).
d.Catatlah pengalaman-pengalaman sang tokoh yang berkesan.
b.Catatlah hal-hal positif dan negatif (jika ada) dari tokoh tersebut.
c.Catatlah karya-karya yang dihasilkan (jika ada).
d.Catatlah pengalaman-pengalaman sang tokoh yang berkesan.
Hal – hal yang perlu diungkapkan dari seorang tokoh,
yaitu :
a. Nama lengkap, b. Tempat, tanggal,
lahir, c. Alamat sekarang (jika tokoh tersebut masih hidup), d. Pendidikan, e.
Karier/Pengalaman kerja dan prestasinya, f. Tanggal wafat (bila telah meninggal),
g. Dan hal-hal lain yang dibutuhkan.
berikut contoh Biografi :
Biografi WS
Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di
Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai
"Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun
1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah
aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari
pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan
Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan
tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa
kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai
pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA
(1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke
Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi
tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas
Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak
berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam
pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa
dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar
tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia
duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan
menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya.
Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan
beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat
berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun
1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir
menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis,
Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam
majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun
70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan
“Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat
penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu
membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya
Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau
kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari
karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam
negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan
India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri,
di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The
Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte
Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988),
Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989),
World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Untuk
kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN
(1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi
Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan
Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama
pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu,
Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel
Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro
Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang
bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng
Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan
keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito
untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya
kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari
Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan
putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu
bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur,
serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka,
memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan
Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai
komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap
tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam
sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan
Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan
yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok
yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya
bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain.
Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat
Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh
kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding
sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan
ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun
Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan
bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu
Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga
kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi,
Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan
keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang
memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu
harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra
menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra antara lain :
Jangan Takut Ibu - Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak) - Empat
Kumpulan Sajak - Rick dari Corona - Potret Pembangunan Dalam Puisi - Nyanyian
Angsa - Pesan Pencopet kepada Pacarnya - Perjuangan Suku Naga - Sajak Seorang
Tua tentang Bandung Lautan Api dan masih banyak lagi lainnya.
No comments:
Post a Comment