Tuesday, February 12, 2013

Sisi Filosofis Yogyakarta Menurut Cak Nun


Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, yang pernah mengenyam ‘pendidikan’ bersama komunitas seniman di kawasan Malioboro di masa silam, membeberkan bagaimana bangunan konsepsi kosmologi Keraton Yogyakarta hingga kini bisa menjadi sentra panutan kebudayaan bagi masyarakatnya. “Keraton itu bukan sekadar kerajaan, tapi ajaran yang memiliki konsep jelas, ’memayu hayuning bawono’,” kata suami Novia Kolopaking itu. Konsep yang selama ini diartikan sebagai suatu upaya dalam mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia melalui penciptaan keselarasan tatanan hidup antarsesama dan Tuhan.
Keselarasan tatanan yang dibangun Keraton Yogyakarta dicermati Cak Nun terwujud dalam banyak hal sederhana. Misalnya saja dalam pengaturan tata wilayah. Tatanan yang ada tak sekadar dibangun dengan mempertimbangkan aspek teknis yang tampak, tapi juga sarat mempertimbangkan aspek filosofis, khususnya kosmologi semesta, hubungan manusia-alam, manusia, dan Tuhannya. Cak Nun, Ayah dari vokalis band Letto itu mencontohkan, peletakan monumen Tugu Yogyakarta yang berusia tiga abad atau dibangun sekitar setahun setelah Keraton Yogyakarta berdiri. Posisi monumen yang berada di simpang Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M. Sangaji, dan Jalan Diponegoro itu mempunyai makna filosofi.
“Itu sebagai pancang dasar sebelum Yogya mulai membangun peradaban,” kata dia. Tugu Yogyakarta berada pada garis linier yang jika ditarik ke utara akan bertemu dengan Gunung Merapi dan selatan ke Laut Selatan. Di tengah garis itu, Keraton Yogyakarta berdiri. Tak hanya itu, penamaan jalan pada garis linier antara monumen Tugu hingga Keraton Yogya pun diungkap Cak Nun sarat makna, meski sekarang telah berganti.
Misalnya saja, dari monumen Tugu hingga rel kereta api Stasiun Tugu, sebelumnya dinamai sebagai Jalan Margo Utomo (sekarang Jalan Mangkubumi). Artinya, dalam hidup, manusia harus paham ‘pagar’ utamanya. Yakni bisa membedakan mana hitam dan putih atau baik-buruk. Lalu jalan dari rel kereta api Tugu hingga Toko Batik Terang Bulan dinamai Jalan Malioboro. Nama Malioboro sendiri, lanjut Cak Nun, berasal dari kata mali (wali) dan ngumboro (menyebar, menjelajah). “Layaknya wali, manusia harus menyebar nilai-nilai kebaikan itu sejauh mungkin,” katanya.

No comments:

Post a Comment