Parahyangan atau Priangan
(Bahasa Belanda: Preanger) adalah daerah Sunda di Jawa Barat yang
luasnya mencakup wilayah Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Cimahi, Bandung,
dan Cianjur.
Etimologi
Priangan atau Parahyangan sering diartikan sebagai tempat para rahyang
atau hyang. Masyarakat Sunda kuna percaya bahwa roh leluhur atau para dewa
menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi, maka wilayah pegunungan dianggap
sebagai tempat hyang bersemayam. Berasal dari gabungan kata para-hyang-an;
para menunjukkan bentuk jamak, sedangkan akhiran -an menunjukkan
tempat[rujukan?], jadi Parahyangan berarti tempat
para hyang bersemayam. Sejak zaman Kerajaan Sunda, wilayah jajaran pengunungan
di tengah Jawa Barat dianggap sebagai kawasan suci tempat hyang bersemayam.
Menurut legenda Sunda, tanah Priangan tercipta ketika para dewa tersenyum dan
mencurahkan semua berkah dan restunya. Kisah ini bermaksud untuk menunjukkan
keindahan dan kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur.
Geografi
Priangan
saat ini merupakan salah satu wilayah Propinsi Jawa Barat yang mencakup
Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, yang
luasnya mencapai sekitar seperenam pulau Jawa (kurang lebih 21.524 km persegi).
Bagian utara Priangan berbatasan dengan Karawang, Purwakarta, Subang dan Indramayu;
sebelah selatan dengan Majalengka, Kuningan; dengan Jawa Tengah di sebelah
timur dibatasi oleh sungai Citanduy; di barat berbatasan dengan Bogor dan Sukabumi,
sedangkan di selatan berhadapan dengan Samudera Indonesia.
Relief tanah
daerah Priangan dibentuk oleh dataran rendah, bukit-bukit dan rangkaian gunung:
Gunung Gede, Gunung Ciremai (termasuk dalam wilayah administratif Majalengka, Kuningan,
dan Ciamis), Gunung Kancana, Gunung Masigit (Cianjur), Gunung Salak (termasuk
dalam wilayah administratif Bogor dan Sukabumi); Gunung Tangkuban Perahu, Gunung
Burangrang, Gunung Malabar, Gunung Bukit Tunggul (Bandung); Gunung Tampomas, Gunung
Calancang, Gunung Cakra Buana (Sumedang); Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung
Talagabodas, Gunung Karacak, Gunung Galunggung (Tasikmalaya); Gunung Cupu, Gunung
Cula Badak, Gunung Bongkok (Tasikmalaya); Gunung Syawal (Ciamis). Dikelilingi
oleh rangkaian pegunungan dan banyak sungai, Priangan adalah wilayah yang
sangat subur.
Sejarah
Sebelum
jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, wilayah Priangan mencakup wilayah antara
sungai Cipamali di sebelah timur dan sungai Cisadane di sebelah barat, kecuali
wilayah Pakuan Pajajaran dan Cirebon. Setelah kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan
diruntuhkan oleh Kesultanan Banten (1579/1580), wilayah peninggalannya terbagi
ke dalam dua kekuasaan: Kerajaan Sumedang Larang dan Kerajaan Galuh. Sumedang
Larang yang pusat pemerintahannya di Kutamaya (wilayah barat Kota Sumedang saat
ini) dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608).
Takluk ke Mataram
Sepeninggal
Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya,
Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Tahun 1620, karena terjepit oleh tiga
kekuasaan (Mataram di timur, Banten dan Kompeni di barat), Aria Suriadiwangsa
memilih menyerahkan diri ke Mataram (ibunya, Ratu Harisbaya, adalah saudara
Sutawijaya). sejak saat itu, Sumedang Larang diubah menjadi Kabupaten Sumedang
di bawah kekuasaan Mataram, demikian pula wilayah lainnya yang kemudian menjadi
bawahan Mataram yang diawasi oleh Wedana Bupati Priangan. Untuk jabatan Wedana
Bupati Priangan, Sultan Agung memilih Aria Suriadiwangsa dengan gelar Pangeran
Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I, 1620-1624).
Ketika
kekuasaan Priangan dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (mewakili Rangga Gempol
yang ditugaskan untuk menaklukkan daerah Sampang, Madura), Sumedang diserang
Banten. Karena tidak mampu mengatasi serangan Banten, Rangga Gede kemudian
ditahan di Mataram, sedangkan Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan
syarat harus merebut Batavia dari VOC. Dipati Ukur saat itu menjabat Wedana
Bupati Priangan di wilayah Bandung saat ini, yang membawahi wilayah Sumedang, Sukapura,
Bandung, Limbangan, serta sebagian Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem.
namun, karena gagal memenuhi syarat merebut Batavia (1628), dan sadara bahwa
dirinya akan dihukum oleh Sultan Agung, Dipati Ukur berontak. Pemberontakan
Dipati Ukur baru bisa dilumpuhkan pada tahun 1632, setelah Mataram dibantu oleh
beberapa pemimpin Priangan. Jabatan Wedana Bupati Priangan selanjutnya
diserahkan kembali kepada Rangga Gede.
Akibat pemberontakan Dipati Ukur, dalam Piagam Sultan Agung
bertanggal 9 Muharam tahun Alip (menurut F. de Haan, tahun Alip sama dengan
tahun 1641 Masehi, tetapi ada beberapa keterangan lain yang menyebutkan bahwa
tahun Alip identik dengan tahun 1633), daerah Priangan di luar Galuh dibagi lagi
menjadi empat kabupaten:
- Sumedang (Rangga Gempol II, sekaligus Wedana Bupati Priangan),
- Sukapura (Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, bergelar Tumenggung Wiradadaha),
- Bandung (Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, bergelar Tumenggung Wiraangun-angun),
- Parakan Muncang (Ki Somahita Umbul Sindangkasih, bergelar Tumenggung Tanubaya).
Wilayah
Priangan kemudian dimekarkan dengan diubahnya Karawang menjadi kabupaten
mandiri, sedangkan wilayah Galuh (Priangan Timur) dibagi empat kabupaten:
Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Sepeninggal
Sultan Agung (1645), Mataram dipimpin oleh anaknya, Sunan Amangkurat I (Sunan
Tegalwangi, 1645-1677). Antara tahun 1656-1657, wilayah Mataram Barat
(Mancanegara Kilen) dibagi menjadi dua belas ajeg sekaligus menghapus
wedana bupati di Priangan: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura,
Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih),
Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).
Referensi
Lain Mengenai Dipati Ukur
Dipati Ukur
Tanggal 12
Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat
tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut
juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC
di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628.
Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu
Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi,
setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang
sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut
kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih
dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari
Jawa.
Baru dua
hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC,
pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di
sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda
yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan
Sunda.
Ditengah
kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden
Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para
gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa
oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri
ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu
mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk
menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan
kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar
kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan
perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah -
Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan
Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram
itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian
dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati
Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Negara
Kerta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi
tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah
dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram
yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang
kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu
ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun
juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi
Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati
Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada
Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh
Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon
untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu
dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari
kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus
menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa
bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan
ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati
Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan,
Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang
tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari
Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga
Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri
yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda
yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan
algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk
menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga
40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat
diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur
pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal
kepalanya. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun
kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak
kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan
sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda
waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai
sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi
di Jawa Barat.
Jatuh ke VOC - Hindia Belanda
Wilayah Priangan jatuh ke dalam
kekuasaan VOC sebelum Mataram benar-benar takluk kepada VOC (1757). Berdasarkan
"perjanjian" antara Mataram dan VOC tahun 1677 (perjanjian 19-20
Oktober), Priangan Barat dan Tengah diserahkan kepada VOC, sedangkan Priangan
Timur dan Cirebon tahun 1705 (perjanjian 5 Oktober).
Dalam piagam bertanggal 15
November 1684, VOC secara resmi mengangkat para pemimpin Priangan untuk
memerintah wilayahnya masing-masing. Pada tahun 1706, VOC mengangkat Pangeran Aria
Cirebon menjadi Bupati Kumpeni, yang tugasnya mengawasi dan memimpin
bupati-bupati di Priangan agar patuh pada kewajiban-kewajibannya kepada
Kumpeni. Ketika masa VOC ini, Priangan menjadi salah satu sumber hasil bumi
utama dengan adanya program yang disebut Preangerstelsel (Sistem
Priangan), yang utamanya menghasilkan kopi.
Pada masa Hindia Belanda (setelah
VOC bangkrut), Gubernur H. W. Daendels mengadakan proyek Grote Postweg
(Jalan Raya Pos), yaitu membangun jalan dari Anyar di ujung barat hingga Panarukan
di ujung timur Jawa. Selain itu, Daendels juga semakin menggiatkan penanaman
kopi di Priangan, terutama di daerah Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakan
Muncang (1808-1809). Limbangan, Sukapura, dan Galuh digabung dengan Cirebon (Cheribonsche
Preangerlanden), namun tidak lama kemudian Limbangan dan Sukapura dikeluarkan
dari wilayah administrasi Cirebon.
Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda (1808-1942), status Priangan adalah karesidenan yang beribukota Cianjur
(namun kemudian sejak tahun 1864 dipindahkan ke Bandung). Dengan masuknya Galuh
(awal abad ke-20), wilayah Karesidenan Priangan bertambah: Priangan menjadi 6
kabupaten; Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan, Sukapura, dan Galuh.
Rujukan
- Hardjasaputra, A. Sobana (2004). Bupati di Priangan: kedudukan dan peranannya pada abad ke-17 - abad ke-19. Bupati di Priangan dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda, hal. 9-65. Pusat Studi Sunda, Bandung.
- Ajip Rosidi, dkk. (2000). Ensiklopedi Sunda. Pustaka Jaya, Jakarta.
No comments:
Post a Comment