Oleh: Cak Nun
Saya
bangga bertemu guru-guru karena dua alasan. Pertama, saya bertemu dengan
manusia tangguh. Kalau tidak seperti Anda ketangguhannya, bisa rusak 100 kali
lipat dunia pendidikan kita. Kedua, elek-elek’o saya ini juga orang pendidikan.
Elek-elek’o saya ini juga bisa disebut guru. Tetapi Anda lebih baik dari saya,
karena riwayat pendidikan saya tidak jelas. SMA diluluskan secara politis, S1
saya tidak lulus,” begitu Cak Nun mengawali uraiannya di depan para guru
peserta pelatihan dalam rangka program CSR Telkom-Republika dengan tajuk Bangun
Kecerdasan Bangsa “ Bagimu Guru Kupersembahkan ”, bertempat di
Kantor Telkom Yogyakarta, 22 Juni 2007.
Kesempatan
bertemu para guru itu rupanya betul-betul dimanfaatkan Cak Nun untuk membongkar
paradigma per-guru-an di Indonesia. Cak Nun menceritakan bahwa dalam hidup ini
banyak hal yang tidak logis. “Bagaimana bisa saya yang tidak lulus sekolah
diminta ceramah di depan guru-guru. Ini salah satu ketidaklogisan,” ujarnya.
Karena banyak yang tak logis, maka Cak Nun mengajak guru-guru untuk tidak
terjebak atau hanya bergantung pada pemikiran logis (linear). Ada empat cara
berpikir, lanjut Cak Nun, yaitu berpikir linear, zigzag, oval, dan siklikal.
Cara
berpikir linear adalah 5 + 5 = 10,
tidak punya uang stres, ada uang tidak stres. Sementara orang yang berpikir zigzag
selalu menemukan bahwa tidak ada yang tidak manfaat. Cara berpikir zigzag
yang sudah meningkat membawanya pada kualitas cara berpikir oval, dan
pada puncaknya lahirlah pemikiran siklikal. “ Jadi, temukan bahwa
menjadi guru itu pasti lebih baik.”
Lebih
jauh lagi Cak Nun bertanya, “Anda menjadi guru itu karena siapa?” Ada yang
menjawab, “Karena diri sendiri.” Spontan Cak Nun mengatakan, “ Itulah
masalahnya.” Lantas Cak Nun mengibaratkan bahwa jika kita pergi ke Jakarta atas
perintah juragan kita untuk menyampaikan titipan kepada seseorang di sana, maka
si juragan akan menyiapkan fasilitas dan segala yang dibutuhkan, kalau ada
apa-apa dia pula yang bertanggungjawab. Lain jika kita pergi ke sana karena
keinginan kita sendiri, semuanya kita tanggung sendiri. “Maka kalau Anda
menjadi guru karena diri Anda sendiri, ya Anda yang harus menanggung diri Anda
sendiri, tetapi jika Anda menjadi guru karena Allah, Allahlah yang
bertanggungjawab pada diri Anda.”
Untuk
memantapkan prinsip itu, Cak Nun memberikan contoh nyata. Di Sulawesi ada
Waliyullah Imam Lapeo yang membangun Masjid. Begitu Masjid jadi, sang Imam
didatangi banyak pedagang Cina yang menagih hutang-hutangnya. Rupanya Masjid
Imam Lapeo masih punya hutang. Imam Lapeo meminta mereka untuk menunggu
beberapa saat. Sang Imam lantas masuk Masjid dan berdoa, “Ya Allah Rumah-Mu
masih punya hutang. Aku yang hanya menempati saja malu, masak Engkau tidak.
Bayarlah hutang-Mu.”
Tak lama kemudian, datang serombongan orang bermobil, menemui sang Imam, dan memprotes. “Imam, kenapa Engkau membangun masjid tak bilang-bilang kami. Kami kan juga ingin masuk Surga. Masak Imam ingin masuk surga sendirian.” Lalu, Imam Lapeo berkata, “Ya sudah kalau begitu, temui orang-orang di luar itu dan bayarlah hutang-hutangku.”
Tak lama kemudian, datang serombongan orang bermobil, menemui sang Imam, dan memprotes. “Imam, kenapa Engkau membangun masjid tak bilang-bilang kami. Kami kan juga ingin masuk Surga. Masak Imam ingin masuk surga sendirian.” Lalu, Imam Lapeo berkata, “Ya sudah kalau begitu, temui orang-orang di luar itu dan bayarlah hutang-hutangku.”
“Jadi Anda harus
dekat dengan Allah. Ini serius,” tandas Cak Nun. Jika paradigmanya seperti itu,
semua jadi lebih ringan. Persoalan gaji guru yang rendah tetap kita pikir,
tetapi tidak boleh menguras energi kita 24 jam. Segala masalah yang kita hadapi
tidak akan membatalkan kecintaan kita pada profesi guru, karena yang terpenting
adalah kandasan cinta pada pekerjaan guru sebagai “pekerjaan Allah”. Jadi,
“Anda menjadi guru itu mulia atau tidak bergantung pada hal-hal di luar (sekolah
anda unggulan atau tidak, misal), melainkan pada konsep dan keyakinan Anda
sendiri,” yegas Cak Nun.
Selain itu,
Cak Nun juga mengajak para guru untuk menelusuri kembali akar sejarah kata yang
ada dalam dunia pendidikan, “guru itu berasal dari bahasa apa, begitu pula
sekolah, siswa, murid, dan lain-lain.” Semua itu ada kaitannya dengan
epistemologi pengetahuan kita.” Cak Nun mencontohkan kata ‘murid’ yang berasal
dari bahasa Arab. Murid berarti orang yang menghendaki ( punya
karep ), murid berarti subjek,pelaku yang menghendaki ilmu “Jadi,
guru yang baik adalah murid sepanjang masa,”
simpul Cak Nun. Dengan konsep seperti itu, Cak Nun menjelaskan, semua yang
terjadi itu terserah kita, mau kita sikapi bagaimana. Banyak yang mesti
dibenahi, termasuk penyikapan kita atas profesi guru. Karena itu pula, Cak Nun
mengajak para guru untuk memperkaya diri dengan beragam bahasa bahasa pikir,
bahasa hati, dan bahasa-bahasa lainnya, sehingga kalau ada fenomena anak didik
yang di luar kebiasaan, maka para guru tidak kehabisan stok untuk memperlakukan
anak didiknya itu.
Ketika ditanya salah
seorang peserta tentang siapa tokoh yang bisa kita panuti, Cak Nun tegas
menjawab, “tidak usah cari tokoh-tokoh, nanti Anda kecelek. Kalau untuk dunia
pendidikan, Andalah tokohnya bagi anak-didik anda. Anak-anak juga perlu
diperkenalkan para tokoh-tokoh dalam sejarah, tetapi tak perlu mendalam, cukup
diperkenalkan saja. Yang penting mereka tahu, dan nanti akan meneruskannya
sendiri.Selebihnya, jadilah Anda sebagai tokoh mereka.
Klo jadi
jenderal mungkin yang di cari adalah pangkat bintang 3, 4 atau 5.hehe. tapi
jika menjadi guru pangkat tertingginya adalah dicintai oleh keluarga,
murid-murid, masyarakat kalau dalam bahasa nyelenehnya “pahlawan tanpa tanda
jasa”.hehe...
salam
sukses buat semua guru Indonesia
Diambil
dari : Banyu Bening
No comments:
Post a Comment