Friday, November 28, 2014

Tasawuf dan Akhlaq di Era Modern

A. Pendahuluan
Fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern, dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung berorientasi pada materialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (the age of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi manusia itu sendiri. Masyarakat modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar kehidupan materi dan bergaya hidup hedonis dari pada memikirkan agama yang dianggap tidak memberikan peran apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan visi ke-Ilahian yang tumpul penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem. Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-daerah perkotaan yang saling bersaing dalam segala bidang.
Dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya. Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini.

B.  Memahami Dunia Tasawuf
Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq atau tasawuf.[1]
Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui karena sifatnya yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau terapi.[2]
Tasawuf  atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup manusia menjadi lebih materialistik dan individualistic. Perkembangan industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan. Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin tergeser oleh kepentingan materi duniawi.[3]
Menurut Amin Syukur, tasawuf  bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf  perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya.[4]
Menurut Bagir tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk sejarah yang seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan  dan perubahan zaman. Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa silam. Tasawuf di era modern adalah alternatif yang mempertemukan jurang kesenjangan antara dimensi ilahiyah dengan dimensi duniawi. Banyak orang yang secara normatif  (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi secara empiris (kesalehan sosial) kadang-kadang belum tampak ada. Dengan demikian lahirnya tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan yang lebih baik.

C.  Masyarakat di Zaman Modern
Abuddin Nata memberikan kesimpulan mengenai masyarakat modern,bahwa secara harfiah “masyarakat modern”  dapat dimaknai dengan“ suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir”.[5]
Masih merujuk Abuddin Nata, masyarakat modern sering dikomparasikan dengan masyarakat tradisional. Dalam hal ini Deliar Noer memberikan ciri-ciri modern sebagai berikut:
  1. Rasional. Lebih memprioritaskan akal fikiran daripada emosi, pekerjaan selalu dipertimbangkan untung ruginya secara logis.
  2. Berfikir progresif untuk kepentingan masa depan, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat pragmatis, tetapi melihat dampak sosialnya.
  3. Menghargai waktu. Melihat waktu sebagai hal yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
  4. Open minded (terbuka). Mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun.
  5. Objektif. Melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya untuk kehidupan bermasyarakat.[6]
Menurut Azyumardi Azra, modernitas modernisasi tidak selalu berhasil menemui janji-janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin, baik lahir maupum batin. Sebaliknya, modernisasi yang diikuti oleh globalisasi yang kian tak terbendung memunculkan problematika yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia, mulai dari meningkatnya hidup materialistik, dan hedonistik, sampai disorientasi dan dislokasi sosial, politik, dan budaya.[7]
Selain itu, masyarakat modern juga bersifat totaliteristik (ingin menguasai semua aspek kehidupan), eksploris, dan hanya percaya kepada rumus-rumus empiris saja, serta sikap hidup positivistis yang berdasarkan kemampuan akal. Pada masyarakat yang berjiwa dan bermental seperti ini, ilmu pengetahuan dan teknologi modern sangat mengkhawatirkan.[8] Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di muka bumi, sebagaimana firman Allah SWT :
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” .(QS al-Rum: 41).

Secara praktis problematika masyarakat modern dapat disebutkan sebagaimana berikut :
  1. Penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi karena terlepas dari spriritualitas. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan menjajah bangsa lain menindas yang lemah. Seperti yang ada kawasan timur tengah, seperti Libya, Suriah, Palestina, Irak, dan lain sebagainnya.
  2. Pendangkalan iman. Lebih mengutamakan keyakinan kepada akal pikiran dari pada keyakinan religius. Pornografi dan budaya hidup liberal menyergap generasi muda.
  3. Desintegrasi ilmu pengetahuan. Adanya spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan, masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma tersendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Bila seseorang menghadapi masalah, lalu berkonsultasi kepada teolog, ilmuwan, politisi, psikiater, dan ekonom, misalnya, mereka akan memberi jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya membingungkan manusia.[9]
  4.  Pola hubungan materialistik. Memilih pergaulan atau hubungan yang saling menguntungkan secara materi.
  5. Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan mengenyampingkan nilai-nilai ajaran agama.
  6. Kepribadian yang terpecah (split personality). Karena kehidupan manusia modern dibentuk oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, akibatnya manusia menjadi pribadi yang terpecah. Jika proses keilmuan yang berkembang tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan demikian, tidak hanya kehidupan saja yang mengalami kemerosotan, tetapi juga tingkat kecerdasan dan moral.
  7. Stress dan frustasi. Jika tujuan tidak tercapai, sering berputus asa bahkan tidak jarang yang depresi.
  8. Kehilangan harga diri dan masa depan. Jika kontrol nilai agama telah terlepas dari kehidupan, maka manusia tidak lagi punya harga diri dan masa depan.
Masyarakat modern mengalami kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Keberadaannya tergantung kepada pemilikan dan penguasaan simbol kekayaan, keinginan mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial. Hal ini didorong oleh pandangan, bahwa orang yang banyak harta merupakan manusia unggul.[10]
D. Relevansi Tasawuf dalam Masyarakat Modern
Sejauh ini, kita memahami bahwa tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui segala jenis ritme ibadah seperti taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll. Tasawuf dicari orang,lebih untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak memiliki arah dan tujuan pasti. Tasawuf menjadi sangat penting, karena menjadi fundasi dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam harus dapat menyesuaikan diri di era modern ini, karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme-sekularisme ini terbukti lebih bersifat destruktif ke timbang konstruktif bagi kemanusiaan. Jika kemudian hal tersebut dibenturkan pada ranah agama, maka akan didapati masalah yang bersifat akut. Sebab “filsafat” pengetahuan Barat hanya menganggap valid ilmu pengetahuan yang semata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris dan non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan.
Banyak cara diajukan para ahli untuk mengatasi problematika masyarakat modern, salah satu yang hampir disepakati adalah pengembanagn kehidupan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan tasawuf untuk mengatasi masalah tersebut adalah Husein Nashr. Menurutnya, faham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan masayarakat (termasuk masyarakat barat).[11]
Sufisme perlu dimasyarakatkan pada kehidupan modern yang sekarang karena terdapat 3 (tiga) tujuan penting, yaitu:[12]
  1. Turut serta berperan menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat  hilangnya nilai-nilai spiritual.
  2. Memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat Muslim yang mulai melupakannya maupun non Muslim.
  3. Untuk menegaskan kembali, bahwa aspek esoterik Islam, yakni sufisme merupakan jantung dari ajaran Islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam.
Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ttasawuf  juga menghendaki pelaksanaan syari’at, sebab tasawuf dan syariat tidak bisa dipisahkan satu sama lain, apalagi dipertentangkan. Tasawuf merupakan aspek esoteris (batiniyah) sedangkan syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah) Islam. Kedua aspek itu saling terintregasi.
Tasawuf bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Allah SWT.
Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Perilaku hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.[13]
Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam ladang kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.


[1] M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,  Yogyakarta: Pustaka, 2002, hlm. 112
[2] Moh. Soleh, Agama Sebagai Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 35
[3] A. Suyuti, Percik-Percik Kesufian, Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah,2002, hlm 3 - 5
[4] M. Amin Syukur, op. cit., hlm. 3
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta Utara: Rajawali Press, 2011), cetakan ke-10,  h. 279
[6] Ibid., hlm. 280.
[7] Azyumardi Azra, Sufisme dan “yang Modern”  Kata Pengantar dalam Urban Sufism (Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell, ed.) (Jakarta: PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Penerbit Raja Grafindo Persada, Ford Foundation Jakarta Grifith University Australia, dan ISIM, 2008), hlm. iv
[8] Moh. Al-Badir, Ilmu dan Persepektif Tasawuf  (Jakarta: Kharisma, 1996), hlm. 10

[9] Abuddin Nata, op.cit.,hlm. 289-290.
[10] Moh. Al-Badir,op.cit., hlm. 30
[11] www.wikipediaislam/TASAWUF.com, diakses pada 07 November 2014
[12] Ibid.                       
[13] http://ahmadfauzinasutionpemulungilmu.blogspot.com/2013/05/pentingnya-tasawuf-bagi-masyarakat, diakses pada 07 November 2014

No comments:

Post a Comment